Pada Artikel kali, Pengantar Ilmu Falak (PIF) akan menyampaikan pembahasan mengenai Pengertian Mathla', Ikhtilaful Mathla' dan Wilayatul Hukmi serta Konsekwensinya terhadap Rukyatul Hilal, Tiga Istilah Ilmu Falak sebagaimana yang telah dipaparkan oleh salah satu situs Falakiyah Nahdhatul Ulama tersebut adalah ;
- Mathla'
- Ikhtilaful Mathla'
- Wilayatul Hukmi
Pengertian Mathla', Ikhtilaful Mathla' dan Wilayatul Hukmi serta Konsekwensinya terhadap Rukyatul Hilal
Mathla'
Secara sederhana yang dimaksud dengan Mathla' dalam Bab Hisab Awal Bulan Qamariyah adalah Terbenam Matahari, karena Hilal baru dianggap ketika Matahari terbenam. dalam arti lain Mathla' adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya Hilal atau batas geografis keberlakuan Rukyat. Marhla' juga diartikan Tempat terbitnya benda-benda langit. Dalam bahasa Inggris disebut Rising Place.
Ittihadul Mathla'
Ittihadul Mathla' adalah Kesamaan tempat terbitnya Bulan.
Misalnya ada pelaksanaan Rukyatul Hilal di Cirebon, kota lain yang sama Mathla'nya dengan Cirebon juga memiliki hukum yang sama terkait hasil Rukyatul Hilal. Contoh Kota lainnya adalah Jakarta, Apakah terpengaruh dengan hasil Rukyatul Hilal yang dilakukan di Cirebon?, Untuk mengetahui apakah antara Cirebon dan Jakarta merupakan Dua kota yang memiliki Mathla' yang sama?, sehingga Jakarta terkena pengaruh dari hasil Rukyatul Hilal yang dilakukan di Cirebon?
Jawabannya adalah sebagai berikut ;
1. Bujur Tempat (BT) Cirebon dikurangi Nishfu Qausin Nahar (NQN)
= 108¤ 56' - 91¤ 42' 40,7"
= 17¤ 13' 19,3"
2. Bujur Tempat (BT) Jakarta dikurangi Nishfu Qausin Nahar (NQN)
= 106¤ 82' - 91¤ 28' 44,4"
15¤ 53' 15,6".
Ketentuannya adalah ;
- Jika hasil BT - NQN dari kedua kota menghasilkan Nilai yang sama atau berbeda tetapi selisihnya kurang dari Delapan Derajat (08¤ = 01¤ sampai 07¤), maka kedua Kota tersebut dinyatakan sama Mathla'nya (Ittihadul Mathla'). Demikian yang telah dinyatakan oleh Imam Abdullah Bamakhramah)
- Adapun jika hasil BT - NQN dari kedua kota menghasilkan Nilai yang selisihnya lebih dari Delapan Derajat (08¤ = 8¤ ke atas), maka jelas keduanya berbeda Mathla'nya (Ikhtilaful Mathla'), kecuali apabila kota yang dilakukan Rukyatul Hilal memiliki nilai hasil BT - NQN lebih besar dari kota lain, maka kota lain tersebut mengikuti hasil Rukyat kota yang dilakukan Rukyatul Hilal.
Dimana selisih antara dua hasil penghitungan di atas adalah 17¤ 13' 19,3" untuk Cirebon dan 15¤ 53' 15,6" untuk Jakarta. Maka dapat disimpulkan bahwa Jakarta dan Cirebon keduanya Sama Mathla'nya.
Perlu dicatat bahwa data kedua Nishfu Qausin Nahar (Busur Siang) kedua kota di atas pada tanggal 17 Agustus 2021, juga tepat di tanggal yang sama contoh Ikhtilaful Mathla' di bawah nanti.
Untuk dapat mengetahui Nilai Nishfu Qausin Nahar (Busur Siang) suatu Kota dan tanggal tertentu, Tafaddlal buka Artikel Rumus Menghitung Nisfu Qaus An-Nahar, Nisfu Al-Fudlah, Al-Irtifa' dan Al-Ghayah.
Ikhtilaful Mathla'
Ikhtilaful Mathla' adalah Perbedaan tempat terbitnya Bulan. Istilah Ikhtilaf Mathla' dalam Fikih, hanya terdapat dalam kajian tentang terbitnya Hilal (Bulan Sabit) untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri di berbagai wilayah Islam serta penentu waktu bagi pelaksanaan Ibadah Haji di Arafah.
Contoh penghitungan dua kota yang berbeda Mathla'nya, sebut saja Jakarta dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
1. Bujur Tempat (BT) Lombok dikurangi Nishfu Qausin Nahar (NQN)
= 116¤ 12' - 115¤ 18' 24,85"
=00¤ 53' 35,15"
2. Bujur Tempat (BT) Jakarta dikurangi Nishfu Qausin Nahar (NQN)
= 106¤ 82' - 91¤ 28' 44,4"
=15¤ 53' 15,6"
Pembahasan masalah Ikhtilaf Mathla' senantiasa muncul ketika umat Islam akan menentukan awal dan akhir bulan Ramadan setiap tahun. Oleh sebab itu, pembahasan Ikhtilaf Mathla' di berbagai wilayah Islam lebih ditekankan pada persoalan awal terbit Hilal menjelang puasa Ramadan dan Hilal di akhir bulan Ramadan. Persoalan yang menjadi pembahasan Ulama adalah apakah terbitnya Hilal Ramadan atau Hilal Hari Raya Idul Fitri di suatu wilayah (petunjuk dimulainya puasa atau diakhirinya puasa Ramadan) harus diikuti pula oleh wilayah lain yang belum melihat hilal. Dengan kata lain bahwa perbedaan tempat munculnya Hilal tidak berpengaruh pada perbedaan memulai puasa atau Hari Raya Idul Fitri untuk seluruh wilayah di bumi ini, sehingga apabila suatu wilayah telah melihat Hilal (Rukyat), maka wilayah lain berpedoman pada penglihatan hilal wilayah itu. Jika demikian halnya, maka perbedaan hari memulai puasa tidak akan terjadi di seluruh tempat di bumi ini, tanpa membedakan jauh dekatnya antara wilayah yang melihat dan yang belum melihatnya. Misalnya, para Ahli Rukyat dan Hisab di Mekah, dalam menentukan awal Bulan Ramadan di akhir Bulan Sya'ban, telah melihat Hilal, sedangkan di daerah lain belum kelihatan pada hari yang sama. Dengan Rukyat tersebut pemerintah Arab Saudi mengumunkan bahwa puasa Ramadan dimulai keesokan harinya. Berdasarkan rukyat di Mekah ini, timbul pertanyaan apakah muslimin di daerah lain harus mengakui dan mengikuti penglihatan Ahli Rukyat dan Hisab di Arab Saudi tersebut?, sehingga awal Bulan Ramadan untuk daerah-daerah lain sama dengan awal bulan Ramadan di Arab Saudi. Ulama Fikih menyatakan, bahwa tidak dapat diingkari bahwa munculnya Hilal pada setiap daerah itu waktunya berbeda-beda, apalagi jika daerah itu saling berjauhan.