Berikut akan disampaikan Biografi Penyusun Kitab Falak Nusantara.

Biografi KH. Noor Ahmad
KH. Noor Ahmad lahir pada hari Kamis Kliwon 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H, di Robayan, Jepara. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Shiddiq bin Saryani dan Hj. Sawinah.
PENDIDIKAN
KH. Noor Ahmad memulai pendidikannya dengan belajar di madrasah yang ada di kampung halamannya. Setelah selesai, beliau melanjutkan dengan belajar di Madrasah Tsanawiyah Tasywiq al-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus.
ketika duduk di bangku Madrasah TBS, KH. Noor Ahmad menekuni Ilmu Falak. Beliau belajar ilmu Falak menggunakan kitab Falak karangan Kiai Mawardi Solo. Pada masa itu, dia menyalin kitab tersebut dengan tinta tutul yang digunakan santri zaman dahulu untuk memberi makna kitab kuning.
Keistimewaan cara belajar Noor Ahmad kepada Mbah Toor (sapaan akrap KH. Turaichan Adjhuri asy-Syarofi) adalah, ia belajar langsung tanpa memakai kitab panduan.
Setelah menamatkan pendidikannya di Kudus, Noor Ahmad remaja kemudian berkelana ke pesantren-pesantren lain di Jawa. Di antara pesantren yang pernah disinggahi ialah Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Langitan, Pesantren Lasem dan Pesantren Salatiga.
Pejalanannya menuntut ilmu Falak ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari gurunya, KH. Turaichan. Yaitu setelah Noor Ahmad dianggap telah cukup menguasai dasar-dasar Falakiyah dan membutuhkan bersilaturrahim (mengaji) kepada guru-guru lain. Dari sinilah Noor Ahmad menguasai banyak metode dalam perhitungan Falakiyah.
Selama di Salatiga, Noor Ahmad belajar kepada Kiai Zubair Umar al-Jaelani, pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah. Adapun selama di pesantren Langitan, Noor Ahmad mengaji kepada Kiai Abdul Hadi dan akrab dengan Kiai Abdullah Faqih yang merupakan teman satu angkatannya.
Selain belajar secara jasmaniah, KH. Noor Ahmad juga diperintahkan oleh gurunya, KH. Turaichan, untuk berguru secara ruhaniah. Cara berguru ini berupa pejalanan ziarah kepada para ulama ahli Falak yang telah wafat. Noor Ahmad sering mendapat perintah untuk berziarah ke makam-makam ulama Falak, seperti Raden Dahlan, Semarang, seorang ulama ahli falak pada zamannya.
PERANAN DI NAHDLATUL ULAMA (NU)
Setelah sekian lama belajar kepada Kiayi Turaichan, Noor Ahmad pun muncul sebagai salah satu ulama ahli Falak di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Awalnya, Kiai Turaichan Adjhuri asy-Syarofi, sebagai ketua Markaz penanggalan Jawa Tengah, diminta untuk menjadi anggota Lajnah Falakiyah di PBNU dari perwakilan Jawa Tengah. Akan tetapi dia tidak berkenan. Lalu Kiai Turaichan diminta untuk menunjuk perwakilannya. Maka sang guru pun menunjuk KH. Noor Ahmad sebagai wakilnya.
KARYA-KARYA
Salah satu barometer yang digunakan untuk mengukur kualitas keilmuan seseorang ialah seberapa banyak dan berkualitas karyanya. Dari segi ini KH. Noor Ahmad memenuhi kriteria tersebut, karena telah menelurkan karya-karya yang berkualitas dalam bidang ilmu Falak. Diantara karya beliau ialah; pertama. Syams al-Hilal. Kitab ini terdiri dari dua jilid, yakni jilid pertama berbahasa Arab yang menjelaskan hisab Jawa Islam, hisab Istilahi tahun Hijriyah dan Masehi, dan konversi dari tahun Hijriyah ke Masehi atau sebaliknya.
Karya yang kedua ialah Syawariq al-Anwar. Kitab ini juga terdiri dari dua jilid. Jilid pertama menjelaskan perhitungan arah kiblat dan waktu Shalat dengan beracuan tabel Logaritma. Sedangkan jilid keduanya sama menjelaskan perhitungan arah Kiblat dan waktu Shalat, akan tetapi sudah menggunakan alat bantu kalkulator.
Karya ketiganya ialah Taufiq al-Rahman. Kitab ini merupakan kitab pertama KH. Noor Ahmad yang masuk dalam katagori Haqiqi bi al-Tahqiq. Di dalamnya dijelaskan hisab awal Bulan Qamariyah, Gerhana Bulan, dan Gerhana Matahari. Namun kitab ini sudah tidak dipakai lagi setelah dibuatnya karya yang keempat, yakni Nur al-Anwar. Kitab Nur al-Anwar ini menjelaskan hisab awal bulan Kamariyah metode Haqiqi bi al-Tahqiq, Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari.
Biografi Penyusun Kitab Falak Nusantara
Biografi KH. Ma'shum Ali
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya disebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri.
Mendirikan Pondok di Seblak
Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
Karya Tulis
Meskipun jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya. Ada empat kitab karya beliau;- Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
- Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Salim Nabhan Surabaya dengan Halaman yang tipis tapi lengkap. Kitab ini banyak dijumpai di pasaran.
- Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi Matahari, dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
- Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah Matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan Bumi. Sedangkan Matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi Bumi.
Pribadi yang Sederhana
Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di perahu, selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasilnya, dari situ beliau menulis kitab Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tak lain karena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti Riya’, Ujub, dan Sombong.
Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada Hadratus Syeikh, beliau sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagai hadiah untuk Kiai Hasyim. Bahkan kitab As-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syeikh ketika mengarang kitab.(Almh) Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan: Suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syeikh tentang dua persoalan; pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syeikh menyatakan haram.
Kedua, soal permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis). Sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar.
Kepulangan Sang Tokoh
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat pada usia kurang lebih 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin.Biografi Penyusun Kitab Falak Nusantara
Biografi KH. Muhammad Manshur bin Abdul Hamid Al-Batawi
Kelahiran
KH. Muhammad Mansyur Al-Betawi atau yang kerap disapa dengan panggilan Guru Mansyur lahir pada tahun 1295 H atau bertepatan pada tahun 1878 M, di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta. Beliau merupakan putra KH. Abdul Hamid bin Muhammad Damiri.Wafat
Guru Mansyur wafat pada tanggal 12 Mei 1967. Jenazah beliau dimakamkan di halaman Masjid Jembatan Lima. Orang Betawi senantiasa ingat akan pesannya: “Rempug! Kalau jahil belajar. Kalau alim mengajar. Kalau sakit berobat. Kalau jahat lekas tobat”.Pendidikan
Guru Mansyur memulai pendidikannya dengan belajar langsung kepada ayahnya, KH. Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Beliau belajar ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Ketika ayahnya meninggal, Guru Mansur melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada kakak kandungnya KH. Mahbub dan kakak misannya KH. Tabrani.Pada usia 16 tahun, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad. Di sana selama empat tahun.
Setelah beliau belajar kepada Haji Mujtaba, beliau melanjutkan pendidikannya dengan belajar di Makkah. Selama di Makkah, beliau berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
- Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
- Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
- Syekh Ali Al Maliki
- Syekh Said Al Yamani
- Syekh Umar Sumbawa
Setibanya di kampung halaman, beliau mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk sebagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan.
Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan Betawi. Beliau juga pernah menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya KH. Hasyim Asy’ari. Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama.
Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim. Menurut informasi dari KH. Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan.
Masjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Anak-anak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda. Lebaran Tong lebaran Iraha Tong iraha Isukan Tong isukan. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.
Kiayi Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya. Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu.
Melawan Penjajah
Ketika Jakarta diduduki Belanda tahun 1946, Guru Mansyur memerintahkan agar di menara mesjid Jembatan Lima dikibarkan bendera merah putih. Belanda memerintahkan bendera diturunkan, Guru Mansyur menolak. Tentara Belanda menembaki menara mesjid. Guru Mansyur tidak berubah pendirian.Melihat kekerasan hati Guru Mansyur, Belanda bertukar siasat. Belanda menyerahkan hadiah berupa uang kertas satu kaleng biskuit. Guru Mansyur langsung menolak sambil berkata: “Gue kagak mau disuruh ngelonin kebatilan” Guru Mansyur pemberani, namun hatinya mulia.
Karier
Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah.Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan Betawi. Beliau juga pernah menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya KH. Hasyim Asy’ari. Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama.
Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim. Menurut informasi dari KH. Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan.
Karya-Karya
Beberapa hasil karya tulis Guru Mansyur yang berkaitan dengan ilmu Falak (Astronomi islam) antara lain :- Sullamun Nayyiroin
- Khulasatul Jawadil
- Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
- Mizanul I’tidal
- Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
- Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
- Rubu'ul Mujayyab
- Mukhtashor Ijtima’un Nayyiroin
- Ilmu Falak dan Perlawanan terhadap Penjajah
Masjid terdekat memukul bedug bertalu-talu tanda esok lebaran tiba. Anak-anak yang mendengar bedug bergembira, lalu mereka berlarian ke jalan raya sambil bernyanyi lagu dalam bahasa Sunda. Lebaran Tong lebaran Iraha Tong iraha Isukan Tong isukan. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui bedug. Akibatnya lebaran dirayakan dalam waktu yang berbeda.
Kiayi Mansyur memahami permasalahan ini. Karena itu Guru Mansyur mendalami ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab lebaran akan jatuh dua hari lagi, umpamanya. Dalam adat Betawi Guru orang yang sangat alim, ilmunya tinggi, menguasai kitab-kitab agama, dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu.
Biografi Penyusun Kitab Falak Nusantara
Biografi KH Abdul Djalil Hamid
Bagi generasi sekarang, nama KH Abdul Djalil Hamid mungkin kurang familiar. Tetapi bagi kalangan santri dan kiai di Kudus dan Pati, khususnya di Tayu, nama KH Abdul Djalil tidaklah asing. Keilmuan dan kiprah sosialnya tidak sekadar di level nasional, tetapi juga hingga level internasional.
Lahir dari pasangan KH Abdul Hamid dan Nyai Syamsiyah di Bulumanis Kidul, Margoyoso, Tayu, Pati, Mbah Djalil – demikian sang kiai biasa disebut – merupakan maestro (ahli) falak yang tidak diragukan kemampuannya.
“Mbah Djalil diambil menantu KH Nur Chudlrin, pendiri TBS. Beliau juga merupakan salah satu guru di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) generasi pertama,” kata KH Choirozyad.
Menurut KH Choirozyad, Mbah Djalil mengajar di TBS antara lain semasa dengan KH Arwani Amin dan KH Turaichan Adjhuri. KH. Turaichan Adjhuri tak lain adalah ayahanda dari KH Choirozyad, salah satu sesepuh madrasah TBS saat ini.
“Kalau secara usia, Mbah Djalil lebih senior dari KH. Turaichan Adjhuri. Sedang untuk bidang ilmu falak, kepakaran Mbah Djalil sangat diakui,” KH Choirozyad menambahkan.
KH Abdul Djalil Hamid merupakan keturunan ke-8 dari KH Mutamakkin Kajen, Pati. Ia menikah dengan istri pertama Siti Siryati Binti KH Adnan Bulumanis Kidul dan dikaruniai seorang putri bernama Roudloh.
Sepeninggal istri pertama, Mbah Djalil menikah dengan Hj Aminah Noor Binti KH Noor Khudlrin, Baletengahan. Pernikahan dengan Hj Aminah Noor ini, Mbah Djalil dikaruniai seorang putra, yaitu H Hamdan Abdul Djalil.
Lahir dari pasangan KH Abdul Hamid dan Nyai Syamsiyah di Bulumanis Kidul, Margoyoso, Tayu, Pati, Mbah Djalil – demikian sang kiai biasa disebut – merupakan maestro (ahli) falak yang tidak diragukan kemampuannya.
“Mbah Djalil diambil menantu KH Nur Chudlrin, pendiri TBS. Beliau juga merupakan salah satu guru di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) generasi pertama,” kata KH Choirozyad.
Menurut KH Choirozyad, Mbah Djalil mengajar di TBS antara lain semasa dengan KH Arwani Amin dan KH Turaichan Adjhuri. KH. Turaichan Adjhuri tak lain adalah ayahanda dari KH Choirozyad, salah satu sesepuh madrasah TBS saat ini.
“Kalau secara usia, Mbah Djalil lebih senior dari KH. Turaichan Adjhuri. Sedang untuk bidang ilmu falak, kepakaran Mbah Djalil sangat diakui,” KH Choirozyad menambahkan.
KH Abdul Djalil Hamid merupakan keturunan ke-8 dari KH Mutamakkin Kajen, Pati. Ia menikah dengan istri pertama Siti Siryati Binti KH Adnan Bulumanis Kidul dan dikaruniai seorang putri bernama Roudloh.
Sepeninggal istri pertama, Mbah Djalil menikah dengan Hj Aminah Noor Binti KH Noor Khudlrin, Baletengahan. Pernikahan dengan Hj Aminah Noor ini, Mbah Djalil dikaruniai seorang putra, yaitu H Hamdan Abdul Djalil.
Pendidikan dan Kiprahnya
Perjalanan intelektual KH Abdul Djalil Hamid, cukup berliku. Dia belajar di berbagai pesantren di tanah air, dan tidak sebentar waktu dihabiskannya untuk belajar di Makkah.
Dimulai dengan pendidikan yang diberikan langsung sang ayah hingga 1919, selanjutnya Abdul Djalil belajar di Pondok Jamsaren Solo asuhan KH Idris (1919-1920), lalu meneruskan belajar ke Pondok Termas asuhan KH Dimyati (1920-1921), kemudian di Pondok Kasingan Rembang asuhan KH Kholil (1921-1924).
Selanjutnya, pada 1924-1926 Abdul Djalil muda mukim dan belajar di Makkah Al-Mukarramah, lalu melanjutkan belajar di Pondok Tebuuireng Jombang di bawah asuhan langsung KHM Hasyim Asy’ari (1926-1927), dan kemudian kembali lagi ke Makkah pada 1927-1930.
Tak berselang lama dari pengembaraan intelektualnya yang cukup panjang, ia kemudian mengajar di Madrasah TBS. Di Madrasah TBS, KH Abdul Djalil Hamid tercatat menjadi guru kepala pada 1932-1935.
Selain di TBS, berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain menjadi anggota Raad Agama Islam di Kudus (1934-1945), Ketua Pengadilan Agama Kudus (1950-an), Pembantu Khusus Wakil Perdana Menteri RI (1951-1958), hingga anggota DPR/MPR mewakili alim ulama di Fraksi NU (1958-1967).
Untuk di bidang sosial, KH Abdul Djalil Hamid di antaranya tercatat ikut mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah (1927-1930), anggota pembina PBNU (1930 -1974), Ketua NU Cabang Kudus (1932-1934), Rois Syuriyah PWNU Jawa Tengah (1967-1974), Katib Syuriyah PBNU (1954-1967), Ketua Tim Penentu Arah Qiblat Masjid Baiturrahman Semarang (1968), Penyusun Almanak NU (1930-1974) dan Ketua Lajnah Falakiyah PBNU merangkap Lajnah Falakiyah Departemen Agama RI (1969-1973).
Hj Roihanah, menantu KH Abdul Djalil Hamid yang ditemui di kediamannya di samping Masjid Alhamidiyyah Mlati, menceritakan, bahwa dalam perjalanannya, ayah mertuanya juga sempat dipenjara.
Berdasarkan data yang disimpan pihak keluarga, KH Abdul Djalil Hamid yang menjadi Komandan Gerilya melawan Belanda di Gunung Muria (1948-1949) itu di tahan Belanda di penjara Kudus pada 1949. Data itu juga menyebutkan, Mbah Djalil pernah ditahan di era pemerintahan Orde Lama di Salatiga pada 1952-1954.
Dimulai dengan pendidikan yang diberikan langsung sang ayah hingga 1919, selanjutnya Abdul Djalil belajar di Pondok Jamsaren Solo asuhan KH Idris (1919-1920), lalu meneruskan belajar ke Pondok Termas asuhan KH Dimyati (1920-1921), kemudian di Pondok Kasingan Rembang asuhan KH Kholil (1921-1924).
Selanjutnya, pada 1924-1926 Abdul Djalil muda mukim dan belajar di Makkah Al-Mukarramah, lalu melanjutkan belajar di Pondok Tebuuireng Jombang di bawah asuhan langsung KHM Hasyim Asy’ari (1926-1927), dan kemudian kembali lagi ke Makkah pada 1927-1930.
Tak berselang lama dari pengembaraan intelektualnya yang cukup panjang, ia kemudian mengajar di Madrasah TBS. Di Madrasah TBS, KH Abdul Djalil Hamid tercatat menjadi guru kepala pada 1932-1935.
Selain di TBS, berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain menjadi anggota Raad Agama Islam di Kudus (1934-1945), Ketua Pengadilan Agama Kudus (1950-an), Pembantu Khusus Wakil Perdana Menteri RI (1951-1958), hingga anggota DPR/MPR mewakili alim ulama di Fraksi NU (1958-1967).
Untuk di bidang sosial, KH Abdul Djalil Hamid di antaranya tercatat ikut mendirikan Madrasah Darul Ulum di Makkah (1927-1930), anggota pembina PBNU (1930 -1974), Ketua NU Cabang Kudus (1932-1934), Rois Syuriyah PWNU Jawa Tengah (1967-1974), Katib Syuriyah PBNU (1954-1967), Ketua Tim Penentu Arah Qiblat Masjid Baiturrahman Semarang (1968), Penyusun Almanak NU (1930-1974) dan Ketua Lajnah Falakiyah PBNU merangkap Lajnah Falakiyah Departemen Agama RI (1969-1973).
Hj Roihanah, menantu KH Abdul Djalil Hamid yang ditemui di kediamannya di samping Masjid Alhamidiyyah Mlati, menceritakan, bahwa dalam perjalanannya, ayah mertuanya juga sempat dipenjara.
Berdasarkan data yang disimpan pihak keluarga, KH Abdul Djalil Hamid yang menjadi Komandan Gerilya melawan Belanda di Gunung Muria (1948-1949) itu di tahan Belanda di penjara Kudus pada 1949. Data itu juga menyebutkan, Mbah Djalil pernah ditahan di era pemerintahan Orde Lama di Salatiga pada 1952-1954.
Produktif Menulis
Perhatian KH Abdul Djalil Hamid terhadap dunia keilmuan yang demikian tinggi, khususnya ilmu-ilmu agama, di tengah kesibukannya yang luar biasa, bisa dilihat dari berbagai karya (kitab) yang ditulisnya.
Berbagai karya Mbah Djalil, di antaranya ;
Berbagai karya Mbah Djalil, di antaranya ;
- Fathu Al-Rauf Al-Mannan
- Rubu’ Mujayyab (Quadrant)
- Jadwal Rubu
- Dalil al-Minha
- Tawajju
- Tuhfah al-asyfiya’
- Ahkam al-Fuqoha’
- Takkalam bi al-Lughoh al-Arobiyah.
KH Abdul Djalil Hamid meninggal dunia di Makkah Al-Mukarramah pada 16 Zulqo’dah 1394 H. bertepatan dengan 30 November 1974.
Demikian Biografi Penyusun Kitab Falak Nusantara yang dapat dipublikasikan kali ini.
Source :
- https://www.google.com/amp/s/www.laduni.id/post/amp/70632/biografi-kh-noor-ahmad-jepara
- https://www.google.com/amp/s/www.laduni.id/post/amp/568/biografi-kh-muhammad-mansyur
- http://ponpesnusantara.blogspot.com/2014/06/biografi-kh-mashum-bin-ali-pengarang.html
- https://santrinews.com/Uswah/8361/KH-Abdul-Djalil-Hamid-Sang-Maestro-Falak-Tokoh-NU-Generasi-Awal